Tanggal Lahir
er 28 O
Biografi
Budayawan Emha Ainun Nadjib melukiskan Wardah Hafidz sebagai "perempuan lembut berwajah imut-imut dengan ekspresi seorang gadis pemalu." Tetapi jangan remehkan prestasi dan sikapnya yang gigih melawan ketidakadilan. Wardah (54 tahun) Muallimat Muhammadiyah, jago bahasa Inggris IKIP Malang dan tamatan Ball State University, Munsic City, Indianapolis, Amerika Serikat. Putrid seorang tokoh Masyumi di Jombang ini kemudian dikenal sebagai Koordinator Urban Poor Condortium (UPC) alias Konsorsium Kaum Miskin Perkotaan. la sering bikin geger Jakarta dan membuat Gubernur Sutiyoso pusing kepala.
Tetapi perjuangan bertahun-tahun memperjuangkan hak-hak kaum miskin tidaklah sia-sia. Pada 2004, Wardah mendapatkan anugerah hak- hak asasi manusia dari Memorial Foundation di Korea Selatan. Yayasan itu mengumumkan pada 18 mei bahwa Wardah menjadi pemenang Gwangju Prize for human rights sebagai pengakuan atas sumbangannya pada pemajuan hak-hak asasi kaum miskin dan demokrasi di Indonesia. "Wardah Hafidz telah memberikan sumbangan pada demokratisasi di Indonesia, dengan membantu orang-orang miskin di perkotaan mendapatkan hak-hak asasinya meskipun dihalangi pemerintah," kata yayasan tersebut.
Wardah juga memperoleh COHREC Housing Rights Defender Award 2005 atas perjuangannya yang dinilai luar biasa dalam membantu kaum miskin mendapatkan tempat tinggal yang layak. Wardah dinilai berjasa besar karena ia tidak kenal lelah dalam memobilisasi masyarakat miskin melawan penggusuran paksa dan meningkatkan kemampuan para pimpinan kaum miskin untuk memperjuangkan rumah yang layak bagi masyarakatnya. Kegiatannya bersama orang-orang miskin di kawasan kumuh telah mendapatkan hasil hak-hak rakyat dalam hal perumahan dan mencegah penggusuran.
Tidak lama setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh 26 Desember 2004, Wardah bersama Konsorsium Kaum Miskin Perkotaan membantu orang-orang yang selamat untuk kembali ke rumah dan tanahnya. Wardah antara lain membantu 30 komunitas nelayan di Aceh membangun kembali kehidupannya. Tak kurang dari 1.000 rumah berhasil dibangun kembali.
Jauh hari sebelumnya, Wardah telah dikenal sebagai pejuang HAM yang bersuara keras. Pada awal-awal reformasi setelah lengsernya Presiden Soeharto, Wardah gigih mengungkap money politics dalam pemilihan umum. la menuduh bahwa dana JPS sebesar Rp. 6,5 triliun digunakan untuk Pemilu oleh Golkar dan PDR-nya Adi Sasono. Atas tuduhannya itu, Wardah balik dituduh bahwa ulahnya itu dibiayai oleh kelompok-kelompok tertentu di Indonesia dan kelompok asing yang cerdas langkah populis Adi Sasono memberdayakan kaum miskin di Indonesia.
Aktivitas Wardah Hafidz yang sering berhadapan dengan pemerintah tersebut membuat dirinya harus menghadapi aparat keamanan. Pada 28 Februari 2000, misalnya, ia ditangkap polisi bersama staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan dan sebelas tukang becak, lalu dibawa ke Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Penangkapan tersebut menyusul aksi unjuk rasa yang mereka lakukan sejak pagi di Istana Merdeka, Jakarta.
Namun demikian, polisi tidak menahan mereka. Setelah dimintai keterangan oleh aparat Polda Metro Jaya, Wardah dan kawan-kawan dipulangkan. Penangkapan itu diawali dengan aksi demo sekitar 100 tukang becak yang didampingi Wardah di depan Istana Merdeka, Jakarta, sekitar 10.30. mereka ingin bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk minta perlindungan dan keadilan untuk tukang becak. "Kami dantian, yang tadi siang sudah pulang, diganti yang baru," kata Wardah Hafidz, sebelum ditangkap. Dia sempat bertanya kepada tukang becak, pakakah ingin pulang atau tetap bertahan. "Mereka mengatakan ingin bertahan," katanya.
Pelopor Feminisme
Selain aktivitasnya yang sering menimbulkan kerepotan aparat keamanan, Wardah juga terkenal memiliki pandangan yang liberal. Dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 6 Februari 2003, misalnya, Wardah menunjukkan hal itu. Dalam memandang Tuhan, Wardah lebih menitikberatkan aspek keadilan Tuhan (ahlu al-adli wa al-tauhid) ketimbang kaum Sunni kebanyakan yang menekankan aspek kemahakuasaan Tuhan (tanzih). Wardah yang dulu aktif mempelopori feminism dalam Islam, melihat Tuhan dalam perspektif kasih dan sayang terhadap makhluk-Nya. Menurut Wahdah, Islam tidak boleh berada di pinggir lapangan dalam menyuarakan hak-hak kaum dhuafa.
Kepada pewawancara, Wardah melukiskan bagaimana proses sosialisasi agama berlangsung pada dirinya sewaktu kecil di kota asalnya, Jombang. Ketika Masyumi pedah pada tahun 1950-an, NU keluar. Perpecahan itu membawa dampak terhadap keluarga besarnya yang homogen, ada yang NU, Muhammadiyah, dan yang tetap Masyumi. Hal itu sempat membuat ketegangan di keluarga besarnya, tetapi ayah Wardah termasuk yang Masyumi.
Dari kecil, Wardah selalu disosialisasikan dengan ritual-ritual agama. Artinya, sejak sebelum sekolah dasar (SD) pun, ia sudah puasa. Dulu dirinya tidak mengenal puasa setengah hari. "Jadi, keluarga saya termasuk keluarga santri dan kuat secara ritual," kata Wardah.
Tentang sekolah Wardah menuturkan bahwa kakeknya dulu punya pesantren. Ketika perang kemerdekaan, para santrinya ikut berperang. Akibatnya, pesantren kakeknya ditutup. Ada juga madrasah yang sampai sekarang masih bertahan. Pertama kali Wardah masuk sekolah yang berada di lingkungan rumah (kakek) itu, yaitu madrasah. Mulai dari kelas satu, terus lompat ke kelas dua di sekolah negeri. Pelajaran agama, dalam hal ini bacaan Al Quran, diajarkan sendiri oleh ayahnya, tiap sore hari. Saat itu tempatnya belum ada listriknya, jadi keluarganya makan malam jam lima sore. Setelah shalat maghrib berjamaah, mereka lalu diajari mengaji bersama-sama.
Mengingat masa kanak-kanaknya, Wardah menggambarkan dua sisi tentang Islam yang ditampilkan pada dirinya. Satu sisi adalah Islam yang indah dan hangat. Misalnya dalam bulan puasa. Setelah sahur, lalu menunggu subuh, paman atau ayahnya selalu mendongeng dengan duduk bersama-sama. Sebenarnya dongeng itu (siasat) untuk memperkenalkan doa-doa; seperti doa masuk kamar mandi, melintasi kuburan dan lain-lain. Tapi itu diajarkan lewat medium cerita atau dongeng.
Di sisi lain, Wardah mengatakan dirinya melihat banyak orang di sekitarnya yang salahnya tidak hanya lima kali sehari, tapi juga ditambah sholat dhuha, shalat tahajud dan lain-lain; tapi perilaku sehari-harinya, hubungan horisontalnya antarsesama, bobrok. Dalam praktik keseharian mereka, menurut Wardah, mengingkari apa yang telah mereka ucapkan dalam seluruh proses salah yang mereka lakukan. Mereka jahat pada tetangga dan berperilaku buruk lainnya.
Wardah mengatakan, ia kemudian menyimpulkan bahwa salah bukan (sekedar) soal neraka, sebagaimana dipahami secara konvensional. Shalat juga bukan untuk Tuhan sebenarnya, tapi untuk manusia sendiri. "Kalau kita renungkan apa yang kita ucapkan (dalam ritual shalat), mulai dari takbir sampai salam, itu 'kan sebetulnya merupakan upaya untuk mengingatkan diri kita atau refleksi ke dalam tentang siapa sebetulnya kita, dan apa tugas dan peran kita sebagai manusia yang sedianya harus ada dalam jalan yang benar," katanya. "nah, kalau itu kita ucapkan sebagai suatu janji dalam lima kali sehari berarti (shalat) memang menjaga inner-consciousness atau kesadaran dalam diri kita, untuk selalu menjaga komitmen itu."
Wardah Hafidz juga rajin menulis soal agama. Pemikirannya banyak dipengaruhi buku-buku karya para feminis Islam, seperti Fatimah menisi, Amina Wadud, Rifat Hasan dan lain-lain. la Wardah juga mengaku banyak membaca pemikir-pemikir muslim yang kritis. Mereka adalah para pemikir yang dinilai membuka kembali pintu ijtihad; mencoba membuka pemahaman yang tidak menjadikan agama bagaikan sesuatu yang beku; sesuatu yang dimuseumkan untuk kemudian diterjemahkan sangat dangkal.
Tentang aktivasinya dalam membela orang miskin kota, Wardah menyebutkan tidak ada kaitannya dengan cara pandangnya terhadap agama. la menyebutkan, dirinya mulai fokus pada masalah kemiskinan kota sejak tahun 1993. la mulai masuk ke persoalan Islam, terutama soal gender dan Islam, serta perempuan dan Islam, sejak tahun 1980.
Khusus isu kemiskinan, menurut Wardah, sebetulnya juga menjadi salah satu fokus dalam pembahasan agama; misalnya dalam soal keadilan dan soal perhatian pada kaum dhuafa dan marjinal. "Akhirnya, walaupun saya tidak menulis lagi, dan tidak banyak ikut diskusi, tapi saya mencurahkan banyak waktu pada ranah aktivisme," katanya.[]