Tanggal Lahir
95 27 M
Biografi
Siapa yang tak kenal Emha Ainun Nadjib? Hampir semua warga bangsa ini tua muda pasti kenal, setidaknya mengenal namanya. Apalagi bagi kita orang Jombang, pasti merasa sangat dekat dengan tokoh yang satu ini.
Ucapan-ucapannya sering mengagetkan. la menyentil siapapun, dari segala kelompok maupun aliran. Dalam wawancara dengan Surabaya Post, edisi Minggu, 20 Oktober 2006, misalnya, ia mengkritik ibu-ibu yang tidak mau menyusui anaknya. "Bedes ae nyusuhi anake (kera saja menyusui anaknya, Ed), masak manusia tidak?" kata Cak Nun, sapaan akrabnya. "Anak malah diberi susu kaleng yang tidak jelas buatan siapa. Dan saya beruntung lahir dari seorang yang mau menyusui 15 anaknya (jumlah saudara sekandung Emha)."
la juga prihatin terhadap beragam acara yang tidak mendidik, salah satunya adalah Pemilihan Dai Cilik (PIldacil). "Acara saya tidak akan saya perbolehkan mengikuti kegiatan semacam itu. Masak anak kecil memberi wejangan pada orang yang lebih dewasa. Tahu apa anak itu tentang kehidupan, tentang halal haram? Wong belum pernah makan asin manisnya kehidupan kok sok memberitahu orang yang lebih tua," katanya.
Namun apa sebenarnya predikat pada diri Emha, jawabannya sangat beragam.budayawan, humoris, penyair, artis, penyanyi hingga kiai lazim dilekatkan pada dirinya. Menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus), banyak orang merasa mengenal Cak Nur, tapi seberapa banyak yang benar-benar mengenal? Santri tanpa sarung, haji tanpa peci, kiai tanpa sorban, dai sangat jelas menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil, mereka yang tertindas dan mereka yang dipinggirkan. Setiap hari Emha didatangi masyarakat yang membawanya kasus- kasus yang berbagai ragam, dari putus cinta perceraian, keluarga sakit, penggusuran tanah, perkelahian hingga meramal nasib.
Emha bertemu, mendatangi dan bahkan berbicara sangat akrab dengan para pelacur, pencuri, preman, pengamen jalanan, tukang becak dan semua masyarakat kecil. Orang-orang ini pun merasa punya teman dan semua masyarakat kecil. Orang-orang ini pun merasa punya teman dan tempat untuk mengadu dengan aman sekaligus mendapatkan jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi.
Pertemuan-pertemuan tersebut menjadi makin bermakna membekas ke dalam hati sanubari karena Emha selalu mengajak mereka untuk istigfar (memohon ampun pada Gusti Allah). Emha juga mengajak mereka untuk berdoa menjalani kehidupan. Bahasanya sederhana dan langsung menyentuh. Misalnya saja, ketika kondisi ekonomi warga sedang kacau, pikiran sedang sumpek dan bingung, Emha menyadarkan jalan yang sangat tegas. "Empun, gak usah mikir sing macem-macem, sing penting bojo waras, sampeyan budal turu weteng wareg, besok tangi kerja maneh, Golek duit kanggo nguripi keluarga," katanya dalam berbagai kesempatan.
Cak Nun juga bukan orang yang mengagung-agungkan kehebatan dirinya. la tetap rendah hati. Meski begitu orang mengagumi kecerdasan cak Nun yang tak mengenyam sekalipun, termasuk para profesor yang tak habis pikir atas kedalaman dan ketajaman analisisnya terhadap sebuah persoalan. Hingga kini orang bertanya, buku apa yang dibaca Cak Nun dan kapan ia pelajari buku-buku tersebut.
Emha memang pernah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta namun hanya setengah semester, karena tak menarik baginya. Menurut Dosen UGM, tanpa mimbar, mursyid tanpa tarekat, sarjana tanpa wisuda, guru tanpa sekolahan, aktivis tanpa LSM, pendemo tanpa spanduk, politisi tanpa partai, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, ksatria tanpa kuda, saudara tanpa hubungan darah. Kata Gus Mus, Cak Nun agaknya kurang diselubungi Tuhan. Bagi Indonesia. Emha adalah nurani bangsa Emha memang sosok yang eksistensinya tak bisa dikontak-kontak oleh kategori yang dibuat manusia. Dan memang, tak akan mendapat pemahaman yang mendalam kalau melihat predikat yang melekat diri Cak Nun.
la adalah sosok yang luar biasa. Dalam dirinya melekat dan mewujudkan nilai-nilai yang luhur dan tinggi. Ketika ia sudah sangat tenar, namanya menjadi bintang dalam berbagai seminar tampil bersama para doctor bahkan professor pun, ia tak pedulikan hal itu. Ketika manggung bersama artis ingusan, ia dishonor Rp 500 ribu sedang si artis Rp 5 juta, toh Emha tetap sabar dan tak mempersoalkan.
la sering merasakan lapar yang luar biasa karena tak mendapat kesempatan makan meski dirinya harus mendatangi seminar dan pengajian-pengajian yang dihadiri massa. Meski perutnya protes, Cak Nun tak memprotes panitia, ia tetap jalani kegiatan dengan kesungguhan hati. Ketika orang lain mendapat pencerahan akal budinya atau terhibur oleh humor-humornya yang cerdas, ia sering berada dalam keadaan lapar perut.
la adalah tipe orang yang benar-benar "berpuasa". Ketika ia kesulitan keuangan dan bertemu dengan orang yang juga sedang dalam kesulitan, Cak Nun rela melepas ego pribadinya untuk menolong tersebut.
Ketidakadilan, penindasan menjadi kata kunci sasaran tembak Emha, baik aktivitasnya di jagad kesenian, kebudayaan maupun di kancah sosial politik yang bersentuhan dengan masyarakat banyak. Karya-karyanya dalam berbagai media dan buku serta lakon-lakon dalam pementasannya, Ashadi Sinegar, Ainun berhenti kuliah boleh dibilang anugerah atau keberuntungan sebab setelah itu ia mengalami liberalisasi oleh alam. Dengan itu ia mengalami metamorfosa dari suatu kehidupan, menuju suatu institusi yang signifikan di tengah kehidupan, mampu mengatasi sekat-sekat yang membelenggu manusia, berapa gelintir kah manusia yang dapat hadir sebagai suatu institusi yaitu sumber dari nilai bagi manusia yang mengenal atau bersentuhan dengannya?
Masih kata Ashadi, kebanyakan manusia tidak berani hadir dalam individualitas manusia bebas dengan kualitas semacam ini sebab merasa lebih aman berada tempurung yang bernama komunalisme baik dalam lingkup agama, ideologi, textbook, atau ikatan-ikatan yang membelenggu lainnya. Maka apa yang dialami Emha adalah merupakan anugerah bagi manusia dengan bakat yang sangat otentik. Dengan anugerah itulah Emha, kata Ashadi, diselamatkan dari "dosa-dosa" dunia sekolah. Sebagai suatu instirusi, Emha jauh lebih berarti dibanding ribuan bahkan laksaan lulusan dunia sekolah.
Pelayan
Ada yang menyebut, laki-laki kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Kegiatan Cak Nun lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayanan ingin diarahkan untuk menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, ia rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang bulang, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulang, itu pembicaraan mengenai pluralism sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu sebagai manajemen keberagamaan itu.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang dianggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. "dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok music Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal. Tapi horizontal, ujarnya.
Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis.
Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, almarhum MA Latifin, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat, sebelum akhirnya masuk Fakultas Ekonomi UGM meskipun tidak tamat.
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orde yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kajeng, Duta Dari Masa Depan.
Dia juga termasuk kreatif dalam puisi: "M" Frustasi (1976); Sajak- sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisir (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994).
Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot bertutur lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola-Bola Kultural (1996); Budayakan Tanding (1995); Titik nadir demokrasi (1995); Tahapan Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); "Kitab Ketentraman" (2001); "Trilogi Kumpulan Puisi' (2001); "Tahajjud Cinta " (2001); "Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun" (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Kafir Liberal (2006); dan, Jalan sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha berikutnya
Kariernya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di hatian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pimpinan Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup music Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan komunis di beberapa media.
la juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Diantaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980). International Writing Program di Universitas lowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater
Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halim HD, networker kesenian melalui Sanggar bamboo, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan beberapa reporter serta pementasan drama. Di antaranya; Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (19889, tentang pengkultusan); Keajaiban Link Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-santri Khidhir (1990, dilapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun Madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makasar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orde yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kajeng, Duta Dari Masa Depan.
Dia juga termasuk kreatif dalam puisi: "M" Frustasi (1976); Sajak- sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisir (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Asmaul Husna (1994).
Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot bertutur lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola-Bola Kultural (1996); Budayakan Tanding (1995); Titik nadir demokrasi (1995); Tahapan Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); "Kitab Ketentraman" (2001); "Trilogi Kumpulan Puisi' (2001); "Tahajjud Cinta " (2001); "Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun" (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Kafir Liberal (2006); dan, Jalan sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai kanjeng dengan balutan busana serba putih, bersholawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan music gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Shalatullah salamullah/ 'Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ 'Ala yaasin Habibillah/ 'Ala Yaasin Habibillah..
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya bershalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jamaah masjid.
Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu, 14 Oktober 2006 malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.
Perihal pluralism, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralism?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
"Sejak zaman nenek moyang, abgnsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang dada intervensi dari negara luar," ujar Emha.[]