Tanggal Lahir
17 Juni 2024
Tanggal Wafat
21 Juli 2024
Biografi
Pria kelahiran Desa Diwek Kecamatan Diwek, Jombang 17 Juni 1932 itu kini telah berusia 75 tahun namun cukup sehat menjalani kehidupan dan masih banyak melakukan kegiatan. la pun masih sering bepergian untuk berbagai urusan. "Tetapi saya kena asam urat, jadi ya harus hati-hati dan pandai-pandai mengatur makan," katanya.
Asmuni menjalani masa kecilnya di Diwek, bersekolah di SR Ceweng kemudian melanjutkan ke SMP I Jombang hingga kelas tiga untuk selanjutnya pindah ke Surabaya mengikuti ayahnya. Ayah Asmuni sendiri, Asbandi adalah pegawai bagian kesenian DJAKAD (Djawatan Kesejahteraan Angkatan Darat) yang bertugas menghibur para tentara. Struktur lembaga ini meniru militer Jepang. Pada lembaga inilah Asmuni sering ikut ayahnya dan kemudian banyak uang melihat bakat Asmuni sebagai penghibur. Itu memang terjadi semasa pendudukan Jepang tahun 1943-an. Karena berada di lingkungan tentara, Asmuni pun akhirnya masuk tentara setelah Indonesia merdeka. Namun karena usianya masih pelajar ia pun masuk TRIP (tentara pelajar).
Pada masa tersebut, ia berjuang mempertahankan Surabaya dari serangan Belanda di sekitar Sepanjang-Krian. Namun karena terus terdesak akhirnya tentara dan laskar-laskar Indonesia mundur dan tumpleg bleg di Mojoagung. Mereka berjuang mempertahankan Jombang. Mereka mengira, Belanda tidak mungkin bisa masuk Jombang karena Mojoagung dibentengi tentara dan lancar yang jumlahnya sangat banyak. "Hampir semua tentara dan laskar-laskar di Mojoagung," kata Asmuni.
Namun mereka salah perhitungan. Belanda tidak masuk lewat Mojoagung tetapi lewat Mantub, lamongan dan dengan mudah masuk Jombang. Jam 03.00 dini hari pasar Jombang sudah dipenuhi tentara Belanda. Ketika patrol antara Jombang-Mojoagung, Asmuni masuk pasar dan menangkap seorang tentara Belanda. la heran kok ada Belanda di Pasar Jombang padahal sudah dijaga ketat di Mojoagung. Belum sempat rasa heran itu hilang sudah muncul tembakan bertubi-tubi dari arah pasar dan setengah sadar, tentara-tentara Indonesia akhirnya tahu bahwa Belanda sudah masuk Jombang. "Kita ini kalah segala-galanya, baik senjata maupun strategi perang. Jadi kalau berhadapan ya pasti kalah. Satu-satunya kelebihan kita adalah mengenal medan. Itu saja," kata Asmuni.
Selanjutnya Asmuni bergabung dengan Resimen 19 yang bermarkas di Jember. Pada saat bertugas di sinilah, Angkatan Laut hendak membentuk organisasi Olahraga, Pendidikan dan hiburan (O.P dan H) semacam bagian kesenian hiburan milik Angkatan Darat (Djakat), tempat ayahnya berdinas. Saat itu ada nama-nama yang cukup kesohor di antaranya Bing Slamet dan pimpinan Kapten Iskak yang punya anak seorang artis terkenal saat itu, Indriyanti Iskak. Kelompok hiburan ini bermarkas di parkiran, Surabaya. Bermainlah Asmuni menghibur para tentara Angkatan Laut. Namun lama kelamaan ia merasa jemu dan keluar dengan pangkat terakhir Sersan Satu.
la kemudian masuk kelompok hiburan Lokakarya yang bermarkas di THR Surabaya dibawah pimpinan Amang Gunawan. Sejak itulah Asmuni menapaki jalan hidupnya sebagai penghibur. Dari Lokakarya ia kemudian bergabung dengan Srimulat. Bersama Srimulatlah kemudian Asmuni mengalami pasang surut kehidupan sebagai penghibur. la mengalami suka duka sebagai pelawak di sana. Suatu ketika, misalnya, Srimulat memutuskan untuk manggung permanen di Jakarta dan sudah memperoleh tempat di Proyek Senin lantai 4. Optimisme memancar dari seluruh personel Srimulat karena esok harinya akan mulai tampil perdana. Mereka juga sudah mengontrak rumah di sekitar Senin. Setelah semua persiapan beres menjelang main esok harinya, Srimulat didatangi Dinas Tata Kota yang keberatan mereka main di sana karena keamanan penonton tidak terjamin jika misalnya terjadi kebakaran. Seluruh anggota jatuh mental padahal mereka sudah kontrak rumah di Jakarta. Demikian juga Teguh, masih terdiam. "As, saya tidak mikir dekor atau panggung ini. Dekor itu terbakar juga tidak apa-apa. Yang saya pikirkan nasib anak- anak. Bagaimana hidup mereka," kata Tebuh.
Asmuni sumendhal mendengar perkataan Teguh. Akhirnya Asmuni berinisiatif membawa teman-temannya kembali ke Jawa Timur dan tur keliling sedangkan Teguh tetap bertugas mencari tempat manggung permanen yang setahun kemudian mendapatkan di Taman Ria Remaja, Senayan.
Asmuni berkeliling membawa teman-temannya manggung di Surabaya, Jombang, Kertosono, Nganjuk dan sekitarnya. Pertama keliling. mereka tampil di Malang kemudian Kediri tetapi tidak mendapat tempat. Akhirnya mereka tampil di Pare bekerjasama dengan polisi. Begitulah, selama menunggu kepastian manggung di Jakarta mereka tur keliling Jatim dan mendapat sambutan penonton luar biasa bagus.
Ketika akhirnya Teguh mendapat tempat permanen di Taman Ria Remaja, ia pun boyongan ke Jakarta. Mulailah mereka menjalani kehidupan menghibur di Jakarta. Penonton pun ramai. Bahkan, kata Asmuni, kalau semua lima wilayah DKI itu didirikan tempat manggung permanen, ia yakin penontonnya tetap melimpah. Namun, gagasan itu tidak pernah terlaksana dan Srimulat hanya manggung di Taman Ria.
Merasa namanya sudah cukup dikenal dan layak untuk meluaskan pasar, Asmuni mengirim surat kepada TVRI yang merupakan stasiun TV satu-satunya di Indonesia itu Jaraknya juga dekat dengan tempat Srimulat manggung. Namun surat itu tidak pernah dibalas. Barulah ketika ada orang TVRI menonton pertunjukan, yang bersangkutan menawarkan gagasan untuk syuting. Asmuni heran, wong suratnya saja tidak dibalas, sekarang malah menawarkan siaran. Tetapi akhirnya Teguh menyetujui gagasan itu, membikin kontrak dan jadilah pertunjukan Srimulat disiarkan TVRI, "Saat itu kami tidak bicara honor yang didapat dari TVRI. Pokoknya kami makin dikenal di Jakarta dan daerah-daerah lain. Tapi sekarang lain, kalau ada tawaran syuting pasti akan kami perhitungkan berapa honornya," kata Asmuni sambil tertawa.
Srimulat memang semakin berkibar. Para pemain juga mendapat tambahan pekerjaan dari berbagai daerah bahkan hingga Kalimantan. Lepas dari TVRI, Srimulat mendapat tawaran kontrak Indosiar.
Di puncak kejayaan itulah Asmuni sering merenung tentang hari tuanya nanti. la tidak mungkin selamanya di atas dan tak ada lagi seorangpun yang memikirkan hidupnya nanti. Maka ketika masuk Jakarta tahun 1980, dua tahun kemudian ia membuka warung bersama istrinya. "Saya pikir, tak ada yang bisa menjamin hari tua saya. Maka warung inilah yang akan menjadi gandholan hidup nanti," kata Asmuni.
Memang ada yang memikirkan nasib para pelawak yakni Edy Sud yang kemudian membentuk wadah Paguyuban Lawak. Namun setting politik saat itu membuat paguyuban ini juga harus berafiliasi ke Golkar, kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Pada masa kampanye, para pelawak yang memang sudah dikenal masyarakat menjadi gula manis yang membuat Golkar makin besar. "Jadi kami ini member andil besar bagi kebesaran Golkar," kata Asmuni.
Kehidupan pelawak umumnya memang tetap miskin. Pernah suatu ketika hal ini disampaikan kepada Presiden Soekarno dalam suatu acara bahwa nasib pelawak di hari tua banyak yang merana, saat itu Kepala Negara juga tampak sedih mendengarnya, tetapi kata Asmuni, kehidupan pelawak toh tetap berjalan begitu saja. Banyak yang menjalani hari tua dalam keadaan sakit-sakitan tanpa mendapatkan bantuan, banyak pula yang meninggal dalam kemeranaan seperti KardjonoAC/DC, Hery Koko atau Gepeng. "Saya menangis ketika menjelang wafatnya dulu, Kardjo datang kemari dan menjual 2 anaknya kepada saya," kata Asmuni. "Hanya ini yang aku punya Mas," kata Kardjo meyakinkan Asmuni.
Mengenang perjalanan hidupnya yang cukup panjang dan memilih jalan hidup sebagai pelawak, Asmuni sampai pada kesimpulan: Hidup memang harus hati-hati, memikirkan kehidupan masa depan bukan hanya terpaku pada kesenangan saat mengalami kejayaan. Asmuni memang sudah mencapai itu, hidup sesuai yang ia harapkan. Dan ia mensyukurinya.[]